BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum
berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait
dengan perkembangan peradaban dan
ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial . Di antara sejumlah ahli hukum
dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan
mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini
berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai
asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai
bagian dari sejarah intelektual.
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam
ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu
sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat
mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem
perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara
normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum
adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan
kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan
menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan
hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan
hukum,dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran
dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem
hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem
hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada
bagian Hukum Indonesia.
HUKUM PERDATA INDONESIA
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RI pada saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesia sebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.
4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir
diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak
tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga
tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu
penghibahan dengan akta notaris.
4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa
menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan
bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk
persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan
suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini
didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan
antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat
dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan
terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang,
yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak
saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum
dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari
setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas
musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus
dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana
pertanggung-jawaban dimaksud.
7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan
diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak
mengenai perjanjian perburuhan
BAB III
PENUTUP
Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum
berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait
dengan perkembangan peradaban dan
ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial . Di antara sejumlah ahli hukum
dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan
mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini
berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai
asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai
bagian dari sejarah intelektual.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar