Selasa, 15 Mei 2012

Perusahaan yang Melanggar Aspek Hukum


BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela
BAB II
PEMBAHASAN
Etika, pada dasarnya adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar. Oleh karena itu, perilaku etika berperan melakukan ‘apa yang benar’ dan ‘baik’ untuk menentang apa yang ‘salah’ dan ‘buruk’. Etika bisnis sangat penting untuk mempertahankan loyalitas pemilik kepentingan dalam membuat keputusan dan memecahkan persoalan perusahaan. Mengapa demikian? Karena semua keputusan perusahaan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pemilik kepentingan. Pemilik kepentingan adalah semua individu atau kelompok yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap keputusan perusahaan. Ada dua jenis pemilik kepentingan yang berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu pemilik kepentingan internal dan eksternal. Investor, karyawan, manajemen, dan pimpinan perusahaan merupakan pemilik kepentingan internal, sedangkan pelanggan, asosiasi dagang, kreditor, pemasok, pemerintah, masyarakat umum, kelompok khusus yang berkepentingan terhadap perusahaan merupakan pemilik kepentingan eksternal. Pihak-pihak ini sangat menentukan keputusan dan keberhasilan perusahaan. Yang termasuk kelompok pemilik kepentingan yang memengaruhi keputusan bisnis adalah: (1) Para pengusaha/mitra usaha, (2) Petani dan pemasok bahan baku, (3) Organisasi pekerja, (4) Pemerintah, (5) Bank, (6) Investor, (7) Masyarakat umum, serta (8) Pelanggan dan konsumen.

Siapakah pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika dalam perusahaan? Pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika adalah manajer. Oleh karena itu, ada tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya, yaitu:

1.      Manajemen Tidak bermoral. Manajemen tidak bermoral didorong oleh kepentingan dirinya sendiri, demi keuntungan sendiri atau perusahaan. Kekuatan yang menggerakkan manajemen immoral adalah kerakusan/ketamakan, yaitu berupa prestasi organisasi atau keberhasilan personal. Manajemen tidak bermoral merupakan kutub yang berlawanan dengan manajemen etika. Misalnya, pengusaha yang menggaji karyawannya dengan gaji di bawah upah minimum atau perusahaan yang meniru produk-produk perusahaan lain, atau perusahaan percetakan yang memperbanyak cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta, dan sebagainya (Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, Entrepreneurship and The New Ventura Formation, 1996, hal. 21).
2.      Manajemen Amoral. Tujuan utama dari manajemen amoral adalah laba, akan tetapi tindakannya berbeda dengan manajemen immoral. Ada satu cara kunci yang membedakannya, yaitu mereka tidak dengan sengaja melanggar hukum atau norma etika. Yang terjadi pada manajemen amoral adalah bebas kendali dalam mengambil keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan. Salah satu conoth dari manajemen amoral adalah penggunaan uji kejujuran detektor bagi calon karyawan.
3.      Manajemen Bermoral. Manajemen bermoral juga bertujuan untuk meraih keberhasilan, tetapi dengan menggunakan aspek legal dan prinsip-prinsip etika. Filosofi manajer bermoral selalu melihat hukum sebagai standar minimum untuk beretika dalam perilaku.

Menurut pendapat Michael Josephson, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku :

1.      Kejujuran, yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh-sungguh, terus-terang, tidak curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan, tidak berbohong.
2.      Integritas, yaitu memegang prinsip, melakukan kegiatan yang terhormat, tulus hati, berani dan penuh pendirian/keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat, dan dapat dipercaya.
3.      Memeliharan janji, yaitu selalu menaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen, patuh, tidak menginterpretasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalitas dengan dalih ketidakrelaan.
4.      Kesetiaan, yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman, karyawan, dan negara, tidak menggunakan atau memperlihatkan informasi rahasia, begitu juga dalam suatu konteks profesional, menjaga/melindungi kemampuan untuk membuat keputusan profesional yang bebas dan teliti, dan menghindari hal yang tidak pantas serta konflik kepentingan.
5.      Kewajaran/keadilan, yaitu berlaku adil dan berbudi luhur, bersedia mengakui kesalahan, memperlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan individual dan toleran terhadap perbedaa, serta tidak bertindak melampaui batas atau mengambil keuntungan yang tidak pantas dari kesalahan atau kemalangan orang lain.
6.      Suka membantu orang lain, yaitu saling membantu, berbaik hati, belas kasihan, tolong menolong, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang membahayakan orang lain.
7.      Hormat kepada orang lain, yaitu menghormati martabat orang lain, kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan santun, tidak merendahkan dan mempermalukan martabat orang lain.
8.      Warga negara yang bertanggung jawab, yaitu selalu mentaati hukum/aturan, penuh kesadaran sosial, dan menghormati proses demokrasi dalam mengambil keputusan.
9.      Mengejar keunggulan, yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, baik dalam pertemuan pesonal maupun pertanggungjawaban profesional, tekun, dapat dipercaya/diandalkan, rajin penuh komitmen, melakukan semua tugas dengan kemampuan terbaik, dan mengembangkan serta mempertahankan tingkat kompetensi yang tinggi.
10.  Dapat dipertanggungjawabkan, yaitu memiliki dan menerima tanggung jawab atas keputusan dan konsekuensinya serta selalu memberi contoh.

BAB III
PENUTUP
Yang termasuk kelompok pemilik kepentingan yang memengaruhi keputusan bisnis adalah: (1) Para pengusaha/mitra usaha, (2) Petani dan pemasok bahan baku, (3) Organisasi pekerja, (4) Pemerintah, (5) Bank, (6) Investor, (7) Masyarakat umum, serta (8) Pelanggan dan konsumen.
REFERENSI
readmore »»  

Siapakah yang Merekomendasikan Produk Halal


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Peran dan fungsi LPPOM MUI selama 23 tahun menjadi parameter keterlibatan MUI dalam proses sertifikasi halal. “Sudah sepantasnya jika peran dan keterlibatan MUI ini dilegitimasikan oleh hukum positif melalui Undang-undang Jaminan Produk Halal ini. Kami berharap peran pemerintah lebih giat lagi dalam jaminan produk halal ini, seperti pengawasan, pengaturan, penerbitan nomor registrasi halal, pencantuman label halal, pengawasan produk, edukasi maupun law enforcement,” ujar Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim,. M.Si dalam Press Conference MUI tentang Pernyataan Sikap MUI bersama Ormas Islam tingkat pusat terhadap RUU JPH (Jaminan Produk Halal) di Gedung MUI pagi ini (20/04/2012).
Direktur LPPOM MUI menyatakan bahwa halal sudah ditangani oleh MUI selama lebih dari 23 tahun, dan kami tidak ingin jika makna halal hilang dikarenakan pengaruh politik dan perdagangan apabila diselenggarakan ditangan yang salah. Sebab jika nanti terjadi yang dirugikan adalah pelaku usaha dan masyarakat.
“Kami di MUI berharap penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia ini sesuai pada proporsionalnya saja. MUI sebagai wadah ulama yang menentukan fatwa Halal suatu produk dalam proses sertifikasi halal, dan pemerintah sebagai regulator ikut melakukan pengawasan, pembinaan dan law enforcement” sahutnya.
Sikap Ormas Islam dalam menanggapi permasalahan RUU JPH sudah bulat yakni mendukung MUI untuk terus melaksanakan apa yang sudah laksanakan selama 23 tahun ini sebagai lembaga yang menjalankan fungsinya sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak agar dilibatkan dalam kegiatan jaminan produk halal dan ditegaskan dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. "Secara historis, penilaian dan pelabelan produk halal telah dilakukan oleh MUI selama puluhan tahun," kata Ketua MUI Bidang Fatwa, Ma'ruf Amir, dalam acara Sosialisasi RUU Jaminan Produk Halal di Kantornya Sabtu, 14 April 2012.

Menurut dia labelisasi halal merupakan bentuk fatwa yang tertulis. Sehingga, kata dia, MUI harus dilibatkan dalam proses penilaiannya dari tahap awal auditing hingga tahap pengeluaran fatwa.

Sementara RUU tersebut dinilai Ma'ruf telah mengkerdilkan peran MUI dalam memberikan jaminan produk halal. Dalam RUU versi pemerintah, fungsi MUI hanyalah dalam sidang Isbat untuk menetapkan fatwa halal. Sedangkan proses penetapan standar halal, penentuan auditor untuk mengkaji produk, dan penerbitan sertifikasi halal diserahkan sepenuhnya pada pemerintah.

"Padahal ketiganya merupakan bagian yang terintegrasi dan bersifat fatwa serta tidak dapat dipisahkan satu sama lain," ucap Wakil Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan pada kesempatan yang sama. Dengan demikian, kata dia seharusnya kewengan-kewenangan itu diberikan kepada MUI sebagai majelis fatwa yang telah diakui oleh negara.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik MUI, Lukman Hakim, khawatir jika ketiga kewenangan tersebut hanya dibebankan pada pemerintah malah akan menimbulkan polemik baru. "Segala sesuatu yang dipegang oleh pemerintah pasti terkontaminasi dengan kepentingan politik dan atau kepentingan perdagangan," kata Lukman.

Ia mencontohkan kasus penyedap rasa bermerk Ajinomoto yang dinyatakan haram oleh MUI karena mengandung unsur babi dalam bahan pembuatannya. Namun oleh pemerintah, fatwa haram tersebut dipatahkan dan produk tersebut dinyatakan halal.
REFERENSI
readmore »»  

Tulisan Halal dalam Aspek Ilmu Ekonomi


BAB I
LATAR BELAKANG
Halal (حلال, halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia, sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia–secara spesifik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas (± 88%) penduduknya beragama Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah diharapkan dapat memberikan kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produksi pangan segar asal hewan khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Pengaturan jaminan kehalalan karkas, daging dan jeroan memerlukan pengkajian terlebih dahulu, antara lain analisis kandungan unsur haram dan najis, pemingsanan, pemotongan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran melalui pengendalian titik kritis, sehingga dapat diketahui proses pemotongan, penanganan, distribusinya sampai ke tangan konsumen.
BAB  II
PEMBAHASAN
Dalam upaya menerapkan sistem jaminan kehalalan terhadap pemasukan karkas, daging dan jeroan dari luar negeri ke Indonesia, maka perlu adanya pengaturan dari aspek pengawasan kehalalan di tempat-tempat pemasukan dalam wilayah kerja UPT Karatina Pertanian. Oleh sebab itu perlu disadari bahwa aspek-aspek kehalalan karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dari luar negeri tidak semuanya dapat dideteksi sekalipun dengan pemeriksaan dan pengujian secara laboratoris, sehingga diperlukan adanya dokumen jaminan atas kehalalan karkas, daging dan jeroan tersebut dalam bentuk sertifikasi halal demi terwujudnya jaminan kehalalan bagi pangan segar asal hewan yang akan dikonsumsi masyarakat Indonesia. Secara operasional Sistem Jaminan Halal dirancang, diimplementasikan dan dijaga oleh pihak produsen dengan tujuan menjaga kelangsungan status halal dari proses maupun manajemenproduksi.

Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasi- kan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal, disusun sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH merupakan sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi yang senantiasa dijiwai dan didasari pada konsep-konsep syariat dan etika usaha sebagai input utama dalam penerapan SJH.

Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini. Sistem jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak pada empat konsep dasar, yaitu komitmen yang kuat untuk memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada 3 zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun unsur haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan ketidakhalalan produk, dan tidak menimbulkan risiko dengan penerapannya. 

1.      Ruang Lingkup Pedoman Pengawasan Kehalalan ini adalah: 


• Objek Pengawasan :

• Persyaratan Kehalalan :

• Mekanisme Pengawasan :

• Tata Cara Pengawasan dan Tindakan Koreksi:

2.      Definisi dan singkatan


Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:

1.   Analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis adalah gambaran suatu proses analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis yang dilakukan oleh suatu tim pada setiap tahapan proses sampai ke tangan konsumen, dengan mempertimbangkan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan, cara pencegahan masuk dan tercemarnya karkas, daging dan/atau jeroan dengan bahan atau unsur haram pada proses produksi sampai dengan pengemasan serta transportasinya. 

2.   Proses produksi halal adalah rangkaian kegiatan memproduksi karkas, daging dan/atau jeroan pada suatu Rumah Potong Hewan (RPH) atau Perusahaan Pemrosesan dan Pengolahan yang menjamin kepastian kehalalannya sampai ke tangan konsumen.

3.   Sistem Jaminan Halal yang selanjutnya disebut SJH adalah kepastian hukum bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut halal untuk diolah sebagai makanan, dipakai atau digunakan sesuai dengan syariah Islam yang dibuktikan dengan sertifikat halal dan dinyatakan dengan label/logo halal pada kemasan. 

4.   Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus karkas, daging, dan/atau jeroan, yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung. 

5.   Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang secara langsung berhubungan dengan media pembawa atau secara tidak langsung melalui kemasan media pembawa.

6.   Tanda-tanda kemasan dan alat angkut adalah setiap keterangan mengenai karkas, daging, dan/atau jeroan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lainnya yang disertakan pada karkas, daging, dan/atau jeroan yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, dituliskan pada atau merupakan bagian dari kemasan dan alat angkut.

7.   Tanda/Logo Halal adalah tanda khusus dalam bentuk tulisan atau gambar tertentu pada kemasan produk, pada bagian tertentu atau tempat tertentu dengan atau tanpa mencantumkan nomor sertifikat halal yang menjadi bukti sah kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan. 

8.   Sertifikat Halal adalah keterangan tertulis yang memberikan kepastian kehalalan suatu produk dari suatu lembaga sertifikasi halal yang telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia.

9.   Lembaga Sertifikasi Halal adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan pengkajian aspek kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.

10. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disebut MUI adalah wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendikiawan muslim yang berfungsi untuk menetapkan fatwa tentang kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan menurut syariah Islam.

11. Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum yang menyelenggarakan kegiatan produksi, impor, penjualan, penyimpanan, pengemasan, atau distribusi dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan. 

12. Negara asal pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan, yang selanjutnya disebut negara asal adalah suatu negara yang mengeluarkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. 

13. Karkas ruminansia adalah bagian dari ternak ruminansia yang didapatkan dengan cara disembelih secara halal dan benar, dikuliti, dikeluarkan darahnya, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain melalui pendinginan yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga lazim dan layak dikonsumsi oleh manusia. 

14. Karkas unggas adalah bagian dari ternak unggas yang telah disembelih secara halal, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki atau cekernya.

15. Daging adalah bagian dari karkas yang didapatkan dari ternak yang disembelih secara halal (kecuali babi) dan benar serta lazim, layak dan aman dikonsumsi manusia, yang terdiri dari potongan daging bertulang atau daging tanpa tulang lainnya, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan, termasuk daging variasi dan daging olahan. 

16. Jeroan (edible offal) adalah bagian dari dalam tubuh hewan yang berasal dari ternak ruminansia yang disembelih secara halal dan benar serta dapat, layak, dan aman dikonsumsi oleh manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan.
 
17. Rekomendasi pemasukan adalah persyaratan-persyaratan teknis yang direkomendasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan dan badan hukum sebagai bahan pertimbangan teknis dalam pemasukan karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

18. Persetujuan Pemasukan adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri lain atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. 

19. Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan media pembawa hama penyakit hewan karantina dan bahan berbahaya lainnya. 

20. Pengawasan kehalalan adalah upaya untuk memeriksa dan memastikan pemenuhan persyaratan teknis tentang sitem jaminan kehalalan bagi karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri yang diperuntukkan untuk konsumsi manusia di wilayah negara Republik Indonesia.

21. Tindakan Koreksi adalah kegiatan sebagai upaya pencegahan pemasukan dan peredaran produk pangan segar asal hewan yang mengandung bahan berbahaya dan dapat mengganggu ketentraman bathin masyarakat ke dalam wilayah Republik Indonesia.
 BAB III
PENUTUP
Masalah kehalalan karkas daging dan jeroan yang diedarkan dan dipasarkan di Indonesia khususnya yang berasal dari luar negeri merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Secara internal pemerintah perlu menerapkan aturan-aturan yang dapat menjamin kehalalan produk yang diimpor, melalui sebuah pedoman umum yang baku. 

Pedoman pengawasan halal ini cukup penting sebagai landasan bagi petugas karantina dalam melakukan pengawasan di tempat pemasukan, sehingga pemasukan daging yang diragukan kehalalannya ataupun yang tidak disertai dokumen kehalalan dapat dikurangi. 

Dengan pedoman ini pihak pemerintah bersama dengan lembaga non pemerintah yang terlibat dalam regulasi dan pengawasan halal dapat bekerja sama dan berkoordinasi lebih baik, sehingga masyarakat mendapat kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produk impor khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
REFERENSI
readmore »»  

Selasa, 01 Mei 2012

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Pengertian

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Berdasarkan rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan ‘persaingan curang’ bila memenuhi beberapa kriteria sbb:
1.      Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang
2.      Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan atau perusahaan
3.      Perusahaan, baik milik si pelaku maupun perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan curang tersebut
4.      Perbuatan persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu
5.      Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbautan si pelaku
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalahsetiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.

Asas dan Tujuan

Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:
1.      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
2.      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil
3.      Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
4.      Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

Kegiatan yang Dilarang

1.      Monopoli
Monopoli adalah pengadaan barang dagangan tertentu sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
2.       Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang dan dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
3.      Penguasaan pasar
Penguasaan pasar merupakan proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar yang berupa:
1.      Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
2.      Menghalangi konsumen untuk melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaing pada pasar bersangkutan
3.      Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
4. Persengkongkolan
Persekongkolan berarti berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb:
1.      Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
2.      Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan
3.      Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.
Pasal 1 angka 4 UU No.5 Th.1999 menyebutkan bahwa posisi dominan merupakan keadaan pelaku usaha yang tidak adanya pesaing yang berarti di pasar ybs dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasaiatau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan , akses pada pasokan, penjualan, dan menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
1.      Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
2.      Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
6. Jabatan rangkap
Seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila:
1.      Berada dalam pasar bersangkutan yang sama
2.      Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha
3.      Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
                                            
Perjanjian yang Dilarang


1.      Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
1.      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
2.      Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3.      Penetapan harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian sbb:
1.      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
2.      Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
3.      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
4.      Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan
5.      Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
1.      Oligopsoni
1.      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa dalam pasar ybs
2.      Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3.      Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

Hal-Hal yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli


1.      Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cipta, desain produk industry, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang
2.      Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
3.      Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan
4.      Perjanjian dalam rangka keagenan yang isisnya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan
5.      Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
6.      Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah
7.      Perbuatan yang dikecualikan
8.      Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
9.      Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota
10.  Perbuatan dan atau perjanjian yang dikecualikan
11.  Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
12.  Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri

Komisi Pengawas Persaingan Usaha

KPPU adalah sebuah lembaga yang mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Tugas dan wewenang KPPU antara lain:
1.      Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha
2.      Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha / tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
3.      Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi
4.      Memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
5.      Menerima laporan dari masyarakat/pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
6.      Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha/tindakan pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktik monopoli / persaingan usaha tidak sehat
7.      Melakukan penyelidikan/ pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli/ persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan masyarakat atau pelaku atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya
8.      Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
9.      Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi
10.  Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.


Referensi :
readmore »»